Monday, December 3, 2012
How Starbucks Saved My Life: A Son of Privilege Learns to Live Like Everyone Else
“I had found with Starbucks a better reality … not based on external status symbols but on a real feeling of confidence and support and genuine affection and even admiration for and from the Partners and the Guests. And Crystal. Crystal and Starbucks had saved me. Saved me from my pursuit of empty symbols, but also my anxiety about a fear-filled superficial life that hadn’t been, in the end, helpful or even enjoyable for me.”
How Starbucks Saved My Life: A Son of Privilege Learns to Live Like Everyone Else
Author : Michael Gates Gill
Buku ini bercerita mengenai kisah nyata sang pengarang. Berisi tentang makna kehidupan, bagaimana dia struggle dalam menghadapi hidupnya yang sudah "hancur". Seseorang yang dia pikir memiliki segalanya, dari keluarga terpandang, orang tua kaya dan tidak pernah kekurangan. Rumah yang besar seperti istana, rumah peristirahatan di tepi danau, bersekolah di sekolah yang prestigious, lulus dan bekerja di perusahaan periklanan besar dan terkemuka. Meniti karir hingga ke puncak karir. Sampai pada akhirnya, sebuah pemberitahuan pemecatan dari juniornya di perusahaan, seorang wanita yang dia rekomendasikan untuk bekerja di perusahaan tersebut. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, dia harus bangkit dari keterpurukan. Ditambah lagi dengan penyakit yang divoniskan oleh dokter untuknya, serta perselingkuhannya dengan seorang wanita yang menghasilkan seorang anak laki2. Perceraiannya dengan istri yang bertahun2 mendampinginya dan telah memberikan 3 orang anak (2 perempuan dan 1 laki2). Namun, di dalam keterpurukannya itu dia menemukan secercah harapan, dari seorang wanita muda keturunan Afrika - Amerika bernama Crystal, tawaran yang tidak dia duga2 untuk bekerja di sebuah coffee shop Starbucks. Disinilah awal dari kebangkitan hidupnya.Ada banyak nilai2 yang dia dapat.
Sebagai seorang pria dari keluarga kalangan atas, yang selalu membatasi pergaulannya dengan sesama kalangan atas, sedikit rasis dan melihat orang2 keturunan afrika-amerika, dengan tatapan "tidak selevel". Sekarang dia ditolong oleh seseorang wanita dari keturunan Afrika- Amerika, dan bekerja di sebuah coffee shop yang terdiri dari anak2 muda dari berbagai macam ras dan golongan. Yang dulunya dia bekerja di level manajemen tinggi, yang bebas untuk memerintah, mengatur, menyuruh bawahannya untuk bekerja keras hingga lembur untuknya, namun sekarang dia harus rela untuk diatur dan bekerja dari bawah. Dia bekerja dari membersihkan kamar mandi, menyapu, mengepel, mengangkat sampah, mencuci piring dan gelas, hingga membuat kopi. Di usianya yang sudah tidak muda lagi (50 something), dia harus bekerja dengan anak2 muda yang masih energik dan kuat. Namun, setelah bekerja di sini, dia belajar banyak hal dan menemukan arti kebahagiaan.
Dulu, dia tidak punya waktu banyak untuk keluarga. Dia hanya tahu bekerja dan bekerja. Dia tidak tahu bagaimana cara memperlakukan orang dengan baik. Bekerja sebagai bos, dia merasa berhak untuk menyuruh2 bawahannya, meminta ini itu dengan seenaknya. Namun setelah bekerja di Starbucks, dia merasa bahwa semua orang dari ras apapun, dari golongan apa pun berhak untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Di sini semua orang, baik atasan maupun bawahan selalu berkata,"Mike, bolehkah kamu menolong aku", selalu berkata "Tolong" untuk melakukan suatu pekerjaan untuk dia. Atau berkata,"Mike, apakah kamu mau saya bantu untuk.." apabila melihat orang lain kesusahan dan ingin membantu. Selain itu, atasannya juga tidak segan2 untuk memberikan pujian, apabila dia melakukan pekerjaan dengan baik. Suasana tempat bekerja yang sangat kondusif, memberikan kebahagiaan tersendiri untuk dia, dimana dia tidak pernah mengalaminya di tempat kerjanya terdahulu. Selain itu, dia pun mulai menata kehidupannya, memperbaiki hubungannya dengan anak2nya, berusaha untuk menjadi ayah yang baik untuk mereka. Meskipun kini dia tinggal di apartemen kecil, dekat perlitasan rel kereta api yang ribut, namun apartemen kecilnya lebih membuatnya bahagia daripada rumah besarnya dengan mewah. Tanpa kita sadari, "Kebahagiaan itu sederhana, apabila kita mampu memaknainya".
Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...
Labels:
Resensi Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment