Thursday, February 28, 2013

Usia Ideal Masuk SD 7 Tahun?

Hasil browsing-an, artikel yang sangat bermanfaat dari Kompasiana : http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/02/usia-ideal-masuk-sd-7-tahun-475074.html

Saat ini adalah saat di mana banyak orang tua yang mendaftarkan putra-putrinya masuk ke sekolah, baik jenjang nonformal (PAUD, TK) maupun formal (SD,SMP, SMA, dan PT). Termasuk saya yang mempunyai anak usia 5 tahun.

Pada saat umur 3,5 tahun saya sudah mendaftarkan putri pertama saya di PAUD. Namun karena jarak PAUD dari rumah cukup jauh, sehingga saya dan istri akhirnya sepakat untuk memindahkan sekolahnya di TK yang lebih dekat jaraknya dari rumah. Sehingga cukup pengasuh adiknyalah yang bisa antar jemput dia ke sekolah karena cukup dengan jalan kaki.

Pada saat pendaftaran itulah saya diberitahu oleh panitia PSB di TK tersebut, bahwa putri saya sudah cukup matang secara mental dan bisa langsung dimasukkan di TK Besar. Namun dalam fikiran saya apakah betul anak saya sudah cukup matang? Karena tanpa tes dan hanya melihat secara visual dan sekilas si “panitia” menyimpulkan bahwa anak saya sudah cukup matang secara mental.

Memang putri saya sudah bisa membaca sebelum saya masukkan sekolah dan sekarang sudah lancar membacanya. bahkan untuk berhitung bisa di atas rata-rata anak seusianya. Namun apakh benar mental anak saya sudah cukup untuk dimasukkan ke TK Besar? sehingga perhitungannya satu tahun lagi dia akan masuk SD dalam usia kurang dari 6 tahun? akhirnya saya mulai browsing dan saya temukan satu artikel yang membuat saya mantap untuk tetap memasukkan anak saya ke TK Kecil terlebih dahulu, mengingat usianya yang saya anggap belum matang secara mental. Karena menurut saya anak yang lebih matang secara mental (EQ) akan lebih bisa menghadapi kehidupan yang kompleks daripada anak yang hanya menonjol pada IQ-nya.

Berikut Artikel yang ditulis oleh Sutjipto Subeno dengan Judul “Tujuh Tahun Masuk Sekolah Dasar : Tinjauan Pemikiran Pendidikan” :

Jika beberapa puluh tahun yang lalu, dengan begitu ketat sekolah memberlakukan usia 7 tahun masuk SD, maka kini usia itu telah digeser menuju ke usia 6 tahun. Bahkan ada kecenderungan pemikiran di dalam insan pendidikan dan orang tua bahwa jika anaknya bisa lebih dini lagi masuk sekolah, akan sangat baik. Artikel kecil ini bukan bermaksud membahas seluruh aspek secara detail, tetapi ingin secara ringkas memberikan wawasan kepada para insan pendidikan dan para orang tua anak, untuk mempertimbangkan beberapa aspek penting pendidikan.


1. Perlunya Proses
Pertumbuhan manusia membutuhkan proses. Tuhan mencipta manusia di dalam konteks waktu. Seorang anak harus dikandung 40 minggu sebelum dilahirkan. Bagaimana jika dipercepat hanya 7 bulan saja dan dikeluarkan? Maka bayi itu memang sudah berbentuk
manusia dan mungkin masih bisa hidup dengan berbagai alat bantu. Tetapi tentu proses prematur seperti ini sangat tidak dianjurkan dan bahkan dianggap sebagai suatu problema kelahiran. Ibu bayi itu tidak bisa berbangga dan mengatakan bahwa ia cukup senang karena hanya perlu mengandung 7 bulan dan anaknya sudah bisa lahir selamat dan bisa bertumbuh. Demikian pula perlu proses untuk mencerna berbagai kelengkapan kehidupan yang diberikan melalui pendidikan. Perkalian tidak diberikan ke anak 3 tahun, dan differensial tidak diberikan ke anak 6 tahun. Tetapi jika kita melihat kecenderungan saat ini, mungkin sudah banyak orang yang sedang memikirkan bagaimana memberikan perkalian ke anak 3 tahun dan differensial ke anak 6 tahun. Bahkan, saat ini ada ide mendidik anak dari sejak di kandungan dengan berbagai pelajaran. Itu bukanlah suatu cara yang bijaksana. Hal demikian menyebabkan anak tidak diberi kesempatan cukup untuk mengembangkan pribadi dengan wajar. Otaknya dipaksa bekerja keras karena adanya ide bahwa anak bisa dijejali dengan segala pengetahuan tanpa batas. Konsep ini tidak benar. Setiap kehidupan membutuhkan proses. Manusia dicipta oleh Tuhan dengan kebutuhan proses yang lebih teliti dan kompleks dibandingkan binatang. Pakar pendidikan Jean Peaget, yang meneliti perkembangan hidup anak sampai 15 tahun, melihat bahwa secara umum ada kesamaan pertumbuhan anak, dan setiap fase anak mengembangkan pertumbuhan tertentu dan di dalam kapasitas tertentu. Menjepit proses pendidikan yang wajar bukanlah pendidikan yang bijaksana. Akibat yang didapat, anak akan mengalami stress yang cukup berat, yang bisa sampai menimbulkan depresi pada anak.
Anak yang terlalu dini masuk SD masih bermasalah khususnya di kelas satu, karena ia belum siap untuk belajar berkonsentrasi, karena ia masih sedang mengembangkan ketram­pilan geraknya. Akibatnya, dia akan sulit berkonsentrasi, meskipun secara kemampuan intelektualnya dia sudah cukup mampu menyelesaikan soal-soal yang disediakan. Piaget membagi usia 2-7 tahun sebagai usia Pre-Operational Thought, dan 7 tetapi sekedar bisa mengerjakan untuk bisa lulus ujian. Bahkan ada beberapa sekolah memberikan beberapa soal untuk dihafalkan cara penyelesaiannya, tanpa murid mengerti mengapa bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Yang ada adalah sks (sistim-kebut-semalam), dan setelah itu, lupakanlah, karena ujian sudah lewat. Celakanya, semangat seperti ini semakin menurun, sampai-sampai anak di tingkat SD juga berpikiran yang sama. Pendidikan adalah pem­ben­tukan kehidupan. Jika kehidupan dibiasakan hanya sekedar numpang-lewat, maka kehidupan anak-anak kita kelak akan menjadi sangat tumpul. Dan ketika kita menyesal, waktu sudah berjalan dan tak mungkin ditarik kembali. Banyak kegagalan kehidupan sudah dimulai dengan kegagalan kita di sekolah. Sekolah-sekolah yang baik, akan berusaha memberikan pematangan yang cukup kepada murid-muridnya.[1] Orang tua yang baik, akan sangat mem­per­hitungkan waktu untuk pematangan bagi studi anak-anaknya, sehingga tidak menjejali anak dengan berbagai pengetahuan, yang kelihatan hebat, tetapi seluruhnya hanya berada di permukaan.
Studi yang membawa pematangan juga digarap di masa kecil, yaitu untuk anak-anak Kindergarten (TK). Terlalu cepat anak dipindahkan ke SD bukan menjadikan anak itu matang, tetapi bertumbuh secara prematur. Banyak anak-anak seperti ini yang akhirnya menghambat pertumbuhan kedewasaan dan pematangan mental-spiritualnya. Ia berkembang menjadi anak yang pragmatis di masa remaja kelak. Lebih baik sedikit lebih terlambat di awal dan menjadi matang. Inilah format yang dipilih LOGOS. Tokh, nantinya anak akan mengejar semua temannya jika studinya matang. Anak-anak di Eropa yang di masa SD kelihatannya kalah dengan anak-anak Asia, akhirnya mengejar dengan begitu handal ketika mereka berada di bangku kuliah. Fondasi yang terpasang kokoh menyebabkan mereka mantap bertumbuh.


3. Perlunya Konseptual
Belajar bukan sekedar tahu bahwa 2 + 2 adalah 4, tetapi mengapa 2 + 2 adalah 4. Ini yang disebut sebagai studi konseptual. Studi konseptual membawa anak mengerti rumus dasarnya, dan mampu menggunakannya di semua keadaan karena ia mengerti secara mendasar. Tetapi hari ini, banyak pendidikan yang sudah meninggalkan studi yang konseptual akibat dikejar oleh semangat pragmatis, keinginan untuk semua serba cepat dan instan. Begitu banyak penawaran studi akselerasi (percepatan) dimana anak akan cepat mengetahui hasil akhir tanpa mengerti mengapa bisa keluar hasil seperti itu. Akibatnya, jika persoalan digeser dan dirubah dari apa yang biasa dia kerjakan, maka ia
sama sekali tidak mampu lagi menyelesaikan masalah tersebut. Disini kita melihat dihasilkannya begitu banyak sarjana yang tidak siap berhadapan dengan berbagai masalah di bidangnya. Banyak siswa dan mahasiswa sudah terbiasa menyelesaikan masalah dan soal-soal pelajaran secara pilihan ganda, sehingga hanya merupakan soal-soal singkat dan tidak mendalam. Jika setiap soal harus diselesaikan dalam dua sampai 5 halaman kertas jawaban, tentulah pola pemikiran dan sikap penyelesaian masalah akan sangat berbeda. Untuk ini dibutuhkan waktu yang cukup.
LOGOS memberikan tambahan Pre-Elementary Class untuk memberikan waktu pendalaman konsep, sehingga mempersiapkan anak-anak masuk ke SD. Khususnya bagi mereka yang berasal bukan dari Kindergarten LOGOS, membutuhkan pengertian bukan sekedar ilmu pengetahuan, tetapi integrasi konsep spiritual yang mungkin sekali tidak banyak diberikan di tempat lain. Diharapkan dengan demikian pendalaman konsep yang integral membantu anak membangun world-view untuk sukses hidup di masa depan.

4. Perlunya Keutuhan (bukan hanya bagian atau aspek tertentu maju).
Belajar bukan hanya satu aspek dan mengabaikan berbagai aspek yang lain. Kita bersyukur kontribusi Howard Gardner dengan Multiple-Intelligence-nya yang menyadarkan banyak orang bahwa pandai dan sukses bukan hanya tergantung pada matematika dan fisika. Sukses bukan dilihat hanya dari aspek intelektual, tetapi juga sosial, relasional, emosional, dan juga spiritual. Semua ini butuh waktu dan harus dikembangkan secara simultan. Anak terkadang sudah bisa membaca dan berhitung di usia 3 tahun, tetapi bukan berarti ia sudah bisa masuk SD. Ada banyak hal lain yang perlu dia kembangkan juga. Demikian juga nantinya dalam pendidikan selanjutkan, raport atau ijazah seharusnya tidak hanya menunjukkan kehebatan intelektual atau ketrampilan sains, tetapi juga kemampuan sosial, tingkat spiritualitas, dan pengembangan emosi yang matang dari seseorang. Inilah penilaian yang sehat. Untuk itu semua, dibutuhkan cukup banyak waktu dan perhatian untuk memperkembangkan sebuah kehidupan yang holistik. Jangan bangga jika anak kita genius sekali, karena sangat mungkin ia seorang autis dan tidak bisa berelasi dengan sesama dan bahkan tidak pernah bisa bekerja secara normal di dunia kerja umum.

Demikian pula dari berbagai studi perkembangan anak, maka usia 7 tahun adalah usia yang paling tepat untuk anak pada umumnya masuk ke Sekolah Dasar. Memang ada satu dua perkecualian, tetapi secara umum, pertumbuhan anak secara totalitas hingga usia 6 tahun, masih membutuhkan format Kindergarten untuk menuntaskannya. Disini LOGOS memilih untuk memberikan kesempatan pengembangan pribadi anak yang dewasa dan matang secara holistik, bukan hanya dari aspek intelektual atau ketrampilannya, tetapi juga emosinya, spiritualnya, sosialnya dst.

Bagaimana anda sebagai insan pendidik dan para orang tua murid mempertimbangkan format dan pendekatan pendidikan yang banyak dipaparkan saat ini? Apakah anda cenderung memaksakan percepatan pendidikan pada anak-anak anda? Ataukah anda mulai mempertimbangkan untuk memberikan pendidikan yang lebih tepat, lebih baik, lebih normal, dan lebih manusiawi, sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi pada anak-anak anda? Kiranya Tuhan memberikan kepada setiap kita bijaksana surgawi di dalam memikirkan pendidikan anak-anak kita, agar mereka bisa bertumbuh dan diperlengkapi seperti yang Allah kehendaki mereka menjadi. Soli Deo Gloria.
Dikutip dari :http://www.logos.sch.id/main/art-7%20tahun.htm


Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Umur 7 Tahun

Ketika anak2 yang lain seumuran Abrar (4 Tahun) sudah banyak yang bisa membaca dan berhitung. Saya tidak merasa terganggu. Ketika para orang tua berusaha memasukkan anak2nya untuk les ini itu, agar anak tersebut bisa membaca dan berhitung. Saya tetap tenang2 saja. Ketika orang tua yang lain mulai gusar atau bingung, ketika anak2nya belum dapat membaca dan berhitung. Saya tetap tenang2 saja. Yang terpenting untuk saya, Abrar dapat bermain2, berlarian di sekolahnya, melakukan hal2 sesukanya tanpa harus terpaku di tempat duduk, belajar membaca, berhitung, dan lainnya. Biarlah dia belajar sambil bermain. Saya memang ingin memasukkan Abrar SD nanti di usia 7 tahun. Kenapa?

Sambungan otak anak2 itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal2 kognitif pada usia 7-8 th. Sebelum usia itu, dunia mereka yg pantas adalah hanya bermain, bermain dan bermain. Dan mereka PUN tidak boleh DIMARAHI.

Lalu apa akibatnya kalau masa2 usia bermain mereka direnggut untuk belajar hal2 yg kognitif? –> Dewasanya kelak mereka bertingkah spt anak kecil: suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit2an karena ingin diperhatikan orang2 sekitarnya, dan bersifat kekanak2an lainnya

Kalau kita ingin membuktikannya, ada ciri2 yang mudah kita lihat bahwa perkembangan otak anak2 belum siap untuk menerima hal2 kognitif :

(1) ketika kita membacakannya sebuah cerita/dongeng mereka akan meminta kita mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Kita yg tua sampai bosen tp dia tak pernah bosen mendengar cerita kesukaannya itu diulang2 berkali-kali berhari-hari.
(2) mereka yg antusias belajar membaca lalu bisa, tapi mereka tidak paham dengan apa yg mereka baca.

Silahkan dipraktikkan.

Kalau mereka hari ini minta dibacakan cerita A besok minta cerita B besoknya lagi C esok lagi D dan kalau mereka sdh paham dengan apa yg dibacakan, artinya otak mereka sdh siap menerima hal2 yg kognitif.

Lalu apa yg seharusnya kita ajarkan pada mereka (0-7/8th)?

1. JANGAN DIMARAHI

2. TIDAK DIAJARKAN MEMBACA, MENULIS, MENGHITUNG.

3. Bermain role play; memahami bahasa tubuh, suara dan wajah; berbagi hal yg memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan musik, mendengarkan dongeng,

4. Bahkan, anak usia 0-12th pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yg tepat, empati, (mood & feeling)


Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Sunday, February 24, 2013

I'm not a workaholic, I'm just a mother

Udah beberapa bulan belakangan ini gw nyari2 gawean baru, mencari passion baru. Well, sebenernya gw nyari gaji yang lebih besar :D. Dengan berbekal ijazah kuliah gw yang 3 (yaa.. bener, saya memang senang sekolah, mencari ilmu pengetahuan) ;p S1 Ekonomi Manajemen - UI, S1 Sastra Jepang - UNPAD dan terakhir Post Graduate Diploma Marketing and Public Relation - London School. Lelah rasanya mencari pekerjaan baru, mencoba memasukan lamaran berkali2 ke perusahaan2 yang berbeda. Alhamdulillah, belum ada hasil :D Baru dipanggil2 untuk interview. Namun di pertengahan pencarian gw ini, gw menjadi GALAU. Apalagi ketika dalam sebulan terakhir ini anak gw sakiiitt terus. Panas, Demam dan batpil. Berarti gw juga banyak bolos dari kantor, orang tua mana yang tega meninggalkan anaknya yang sakit di rumah. Dan gw juga jadi berfikir ulang dengan keinginan gw yang ingin mencari pekerjaan baru. New job means new load of jobs. Pekerjaan baru berarti kesempatan gw dengan keluarga juga berkurang, apalagi kalo harus mengurangi waktu ketemu gw dengan anak gw. Apalagi waktu sakit kemaren, aduuh.. kayaknya mau resign aja. Coba kalo terjadi apa2 dengan anak, terus gw-nya di kantor, apa jadinya. Bisa2 jadi ibu yang dikutuk tidak hanya oleh orang banyak tapi juga TUHAN.

Untuk saat ini, gw cukup nyaman di kantor gw yang sekarang. Memang sih, gw cuma jadi staff biasa, tapi gw ga harus overtime, pergi ke kantor pagi, pulangnya larut malam. Dan kerjanya juga Senin - Jum'at, Sabtu dan Minggunya libur. Selain itu, kalo tiba2 anak sakit, atau mau cuti tiba2 juga bisa. Tinggal telpon, kasi tauk kalo gw mo cuti or sakit. Di perusahaan lain belum tentu bisa begitu. Iya ga sih??

Kalo gw berfikir untuk pindah kerja, dengan asumsi gaji lebih besar, berarti tanggung jawabnya juga tambah besar. Gw takut kenyamanan2 yang gw dapet dari kantor gw sekarang, belum tentu dapat gw rasakan di kantor yang baru. Kecuali, pindah kerja ke kantor lain dengan gaji yang lebih besar tapi dengan tingkat kenyamanan yang lebih sama *ga usah ngarep lebih deh ya* :p. Meskipun kayaknya enak juga ya kalo kerjanya dari rumah, atau masuk kantor 3x seminggu namun gajinya lebih besar. hehehe...

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Wednesday, February 20, 2013

Terpedaya :p

Udah beberapa hari ini Abrar panas. Dalam sebulan sudah 4x dan durasinya 3 - 4 hari panas tinggi.Periksa ke dokter tidak ada infeksi, anaknya juga masih aktif, ga ada lemes2nya. Oleh karena itu, dokter menyarankan untuk periksa darah lengkap, sampai struktur darahnya. Hasilnya, Abrar ada infeksi *yang dokternya juga ga ngejelasin di mana letak infeksinya* dan kekurangan darah merah alias anemia. Setelah dikasih obat selama seminggu, Abrar harus kembali cek darah lagi. Jadi sore2 saya dan Abrar ke laboratorium untuk ambil cek darah. Kasian sih, total 2x dia ambil darah. Kita aja yang udah tuwir dewasa, takut ya sama jarum suntik. Apalagi diambil darahnya :( Ya demi kesehatan ya nak.

Pas lagi daftar di loket untuk ngambil darah

Abrar : Ibu, sini bu. Liat deh ada balon bentuk ikan paus.
*sambil nunjuk2 ke toko kecil di RS*
Ibu : Oiya Brar.

Selesai pendaftaran, saya dan Abrar menunggu dipanggil. Tibalah waktunya Abrar dipanggil untuk pengambilan darah. kali ini dia nangis sambil bilang,"SAKIT...SAKIIITT...". badannya meronta2, tangannya, kakinya. Terus dia bilang,"UDAH...UDAH..". hiks.. kasian anak ibu. Tapi harus kuat ya sayang. Selesai ambil darah, saya dan Abrar nunggu di depan loket pendaftaran laboratorium *yang berarti duduk di depan toko kecil yang menjual balon ikan paus*. Lalu muncul anak kecil *seumuran Abrar* dia minta balon ikan paus, dan dibeliin. Abrar melihat kejadian tersebut tanpa berkedip.

Abrar : Bu, balonnya sudah dibeli

Balon ikan paus, sekarang tinggal 1. Sang ibu melihat keinginan anak untuk memiliki balon ikan paus. Ada hasrat untuk membelikan balon tersebut. Terlebih lagi, Abrar sudah berlaku sangat sopan, tidak memaksa minta beli balon, even dia tidak meminta untuk dibelikan. Hanya gesture tubuhnya menunjukkan kalau dia sangat ingin balon tersebut. Hari itu, Abrar sangat bersikap manis, tidak nangis dan tidak meminta2 ibu untuk membelikan apa pun. Selain itu, ibu juga kasian liat Abrar yang sakit, dan harus diambil darahnya, itu sangat sakit. Hati itu tersentuh untuk membelikan balon ikan paus untuk anak kesayangannya satu2nya itu. Lalu, ibu pun berkata..

Ibu : Brar, yuk pulang yuk sayang...

Sang ibu dan anaknya berlalu, meninggalkan tempat duduknya. Melewati toko kecil di RS. Melewati balon ikan paus yang menari2 terhembus angin.

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Wednesday, February 13, 2013

M.I.M.P.I

Setiap orang punya mimpi, namun ada orang yang berusaha untuk mewujudkan mimpi2nya, namun ada juga yang leave it that way, alias membiarkan mimpi hanya sekedar mimpi *ngeces aja terus, sambil mikirin mimpi dan berharap durian runtuh, sehingga mimpi jadi kenyataan*. Well, I'm in between :D

Gw punya temen, sebenernya bukan temen gw langsung tapi temennya suami gw. Tapi gw juga kenal *ga penting banget nih*. Yowes, jadi temennya suami gw ini, hidupnya udah lumayan mapan. Dia punya keluarga, anaknya 2, punya rumah,2 mobil dan 1 motor. Cukup bukan? Untuk hidup di Jakarta, termasuk lumayan lah :). Pekerjaannya juga sudah lumayan, menempati posisi yang cukup tinggi. Menurut gw hidupnya sudah mapan. Tapi, 2 bulan yang lalu dia memutuskan untuk resign dari kantornya, dan beralih profesi untuk menjadi enterpreneur alias usaha sendiri. Dan yang bikin gw dan suami gw terkaget2, bidang usaha yang dia akan geluti ini, 180 derajat berbeda dari bidang yang biasa dia pegang selama bertahun2 bekerja, yaitu IT. Dia bertekad untuk berjualan keperluan wanita, dari tas, sepatu, baju, aksesoris, mukenah, hingga keperluan dapur, panci dan teman2nya. Alasannya berjualan keperluan wanita, karena salah seorang temannya juga melakukan bisnis seperti ini, dan temannya itu (katanya) berhasil dan memiliki pendapatan 40 juta/ bulan. Oke, jadi dia punya MIMPI untuk sukses seperti temannya. Gw hargai keputusannya, meskipun gw agak sangsi namun gw sangat mendukung keputusan dia, untuk berdikari, bikin usaha sendiri dan InshaALLAH kalau maju dapat membuka lowongan pekerjaan untuk orang lain. Gw salut akan keputusannya yang berani keluar dari "zona nyaman" dengan keluar dari pekerjaannya yang sudah cukup bagus posisinya, dan gw juga kasih jempol untuk istri dan keluarganya yang mendukung dia untuk keluar dari pekerjaannya dan memilih untuk memulai dari awal lagi di usaha barunya ini. Keputusan yang dia buat, bikin gw melek sendiri. Maksud gw, I have no gut to do same thing like him. Meskipun, peluang untuk mendapatkan uang lebih besar, berlipat2 ganda daripada jadi pegawai sangat mungkin kalau kita bikin usaha sendiri. Namun, kemungkinan untuk rugi berlipat2 ganda, tidak punya pemasukan sama sekali, bahkan rugi juga bisa terjadi. Apalagi gw punya keluarga, mau dikasih makan apa anak gw, uang sekolahnya bayar pakai apa? kalau tiba2 gw dan suami usahanya lagi merugi. Kelebihan menjadi pegawai, kita bisa memprediksikan pendapatan kita selama sebulan berapa, sehingga dapat disesuaikan dengan pengeluaran. Selain itu, uang medical untuk keluarga juga di-cover oleh perusahaan *Alhamdulillah, perusahaan tempat gw bekerja, meng-cover medical expenses untuk gw, suami dan anak*. Untuk saat ini, gw lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai buruh, alias pegawai dan memiliki sambilan OL Shop kecil2an. Ya, mungkin nanti, someday, gw akan fokus di usaha sendiri. Sehingga usaha ini tidak menjadi usaha sampingan tapi jadi main business gw. Amiiinn... InshaALLAH, doain yaa :). Untuk saat ini biarlah suami gw yang jadi enterpreneur.

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Thursday, February 7, 2013

Belajar MORAL dan KEMANDIRIAN di Sekolah Dasar Jepang

Tergelitik dengan artikel yang gw dapet dari KOMPASIANA, Junanto Herdiawan (sang penulis) menuliskan tentang pengalaman anaknya yang bersekolah SD di salah satu sekolah SD Negeri di Jepang

http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang-377536.html#

Moral di SD Jepang
Penulis : Junanto Herdiawan


Rak Sepatu di Jepang

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar.




Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.

Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.


mempersiapkan makan siang teman2nya


melayani teman2nya

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.

Salam.


Coba ya bandingin dengan kurikulum pelajaran SD di Indonesia, di Jakarta pada khususnya. Gw ngeliat anak2 sekarang ini pelajarannya berat, segala macam mata pelajaran sudah diajarkan awal SD. Keponakan gw yang masih kelas 2 SD aja, pelajarannya sungguh berat. Pelajaran matematikanya tidak hanya tambah2an dan kurang2an, tapi juga sudah masuk perkalian. Selain itu, soal2 yang diberikan juga sudah sangat berat (menurut saya). Untuk masuk SD, anak sudah harus bisa membaca. Untuk masuk SD, tes yang diberikan juga sudah berat. Anaknya temen saya memasukan anaknya ke SD Islam, untuk tesnya, diberikan soal tertulis sebanyak 100 soal. Di dalamnya ada matematika, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, hafalan2 doa, dan lain2. Selain itu, ada juga ujian lisannya. Ya ampuunn kok ya berat banget mau masuk SD. Gimana nantinya untuk ke SMP, SMA dan selanjutnya ya :( No wonder banyak anak2 yang stress, dan kenakalan mereka juga sudah semakin beragam. Bisa dimaklumi, karena beban yang diberikan untuk anak2 seumuran mereka yang sangat berat. Belum lagi orang tua yang sibuk, dan PR yang sejibun yang diberikan oleh sekolah. Sedangkan pendidikan agama dan moral yang diberikan sangat sedikit. Coba aja liat di jadwal pelajaran anak SD, pendidikan agama dan moral hanya 1x seminggu, itu juga hanya 1 jam. Sedangkan pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan pelajaran eksak lainnya lebih banyak daripada itu :(

Apabila kita berkaca pada Jepang, negara yang sangat maju di bidang perindustrian, ekonomi dan teknologinya, mereka membekali anak2 mereka sebagai pondasi dasar, pelajaran MORAL serta KEMANDIRIAN. Apabila anak2 kita dibekali dari awal dengan pendidikan AGAMA,MORAL serta KEMANDIRIAN, InshaALLAH mereka akan menjadi anak2 yang hebat,IMHO.

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Sunday, February 3, 2013

Big is Beautiful *part 2*

Sebagai anak satu2nya, Abrar pastinya deket banget sama ibunya *ge-er*. Seperti pada hari Minggu siang ini, Abrar narik2 baju ibu dari belakang, terus ngikutin ke mana ibunya pergi. Maklum deh, seneng banget dia kalo hari Minggu gini ibunya ga ngantor *ge-er part 2*. Sambil narik2 baju ibunya dari belakang, Abrar ngomong :

"Awas, truk gandeng lewat.. truk gandeng lewat"

!#@#$^*)(&%&*$&%#%# ^!#@#^

Emangnya ibunya segede itu apa ya? hikss.. :( Dia asik main2 sama ibu, berimajinasi kalau ibunya itu Truk, dan dia itu sebagai gandengannya si Truk. Tanpa ngerasa bersalah, dan tanpa bermaksud menghina, anak itu asik bermain dengan memegang baju belakang ibunya sambil mengikuti ke mana ibunya pergi.

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...

Baca Buku

Gw punya kebiasaan membacakan buku sebelum tidur ke anak. Meskipun pada prakteknya, tidak hanya sebelum tidur, tapi kapan pun Abrar mau dibacain buku. Sampai2, tengah malam, Abrar bisa loh bangun untuk minta dibacain buku sama ibunya, dan ga tanggung2 ga cuma 1 buku tapi bisa 3 buku (ibunya nyerah 3 buku paling banyak). Kebayang kan lagi ngantuk2nya, lagi enak2nya tidur, dibangunin hanya untuk bacain buku :( Tapi karena mintanya bacain buku, okelaah.. demi kebaikan ya sayang, ibu meskipun matanya udah 5 watt, tetep semangat bacain buku.

Oleh karena itu, saya sering membelikan buku untuk Abrar. Apalagi kantor saya tinggal ngesot doang ke Gramedia. Tinggal turun ke lantai 3, voila di sudah Gramedia. Alhamdulillah, senangnya :). Buku2nya Abrar kebanyakan mengenai mobil, dan kereta api. Yap, anak saya adalah penyuka transportasi. Maklum lah namanya juga anak cowok. Daripada sukanya Barbie :D hihihihi... Buku2nya kebanyakan adalah ensiklopedia seri anak, dan dipilih yang tipis supaya dia tidak bosan, dan ibunya juga tidak capek bacainnya (pemalas) :D. Kenapa ensiklopedia?

Menurut Wikipedia :
Ensiklopedia (/énsiklopédia/) adalah sejumlah tulisan yang berisi penjelasan yang menyimpan informasi secara komprehensif dan cepat dipahami serta dimengerti mengenai keseluruhan cabang ilmu pengetahuan atau khusus dalam satu cabang ilmu pengetahuan tertentu yang tersusun dalam bagian artikel-artikel dengan satu topik bahasan pada tiap-tiap artikel yang disusun berdasarkan abjad, kategori atau volume terbitan dan pada umumnya tercetak dalam bentuk rangkaian buku yang tergantung pada jumlah bahan yang disertakan

Saya ingin buku yang dibacakan untuk Abrar tidak hanya berupa cerita, tetapi terdapat informasi2 penting di dalamnya, pengetahuan2 umum yang menambah wawasannya. Makanya ga heran, kalau Abrar hafal nama2 kereta, seperti : Maglev = kereta api cepat di Cina, Shinkansen = kereta api cepat di Jepang, TGV = Kereta api cepat di Perancis, AVE = kereta api cepat di Spanyol, Eurostar = kereta api cepat di Eropa. Selain itu, dia juga tahu, kalo kereta api uap itu bahan bakarnya kayu bakar, terus ada lagi kereta api diesel, yang bahan bakarnya Bensin, dll. Awalnya saya membelikan buku2 ensiklopedia anak yang berkaitan dengan transportasi, yang memang Abrar suka. Tapi saya juga membelikan buku2 yang lain. Seperti tentang Langit. Di langit itu ada apa? Kalau mau melihat bintang pakai apa? Apa itu bulan? komet? Matahari? Bintang? Planet? Peristiwa bumi berputar mengelilingi matahari apa namanya? Bulan mengelilingi bumi, bumi berputar pada porosnya selama berapa lama?dll. Atau tentang melahirkan, asal muasal bayi dari mana? Apa itu sperma, indung telur, zygot, janin sampai akhirnya bayi? Berapa bulan dikandung? hihihihi... kata nyokap gw, "Emangnya si Abrar ngerti apa? Masih sekecil itu diajarin hal2 seperti itu". Ga tauk gw yang terlalu berlebihan, tapi gw selalu memperlakukan Abrar sebagai pribadi yang mempunyai akal pikiran, teman untuk sharing dan mengeluarkan pendapat.

Pada akhir cerita, gw juga akan bertanya pada Abrar kesimpulan dari buku yang sudah gw bacain. Gw akan menanyakan, apa sih isi bukunya? Dan gw akan suruh Abrar untuk cerita tentang buku yang gw bacain. Dan ga sampai situ aja, kadang2 dalam keseharian gw suka nanya pengetahuan2 yang dia dapat dari buku. Seperti :
Ibu : Brar, kalau mau liat bintang pakai apa sih?
Abrar : Teleskop.
Ibu : Brar, ini yang ibu pegang apa namanya? (sambil nyetir),
Abrar : Setir.
Ibu : Brar, ini yang ibu injek namanya apa?
Abrar : Gas
Ibu : Kalau yang dipegang ini, untuk ganti gigi apa?
Abrar : Persneling

Hehehe.. kayak tes aja ya :D

Tapi gw juga ga memaksakan Abrar untuk dibacain buku yang mana, terserah dia maunya yang mana. Malahan, dia yang selalu minta untuk dibaca buku. Kadang2, 1 buku bisa dia minta bacain berhari2, sampai bosan ibunya *qiqiqi..*. Tapi gara2 sering dibacain buku, makanya dia jadi hafal.

Veilicious! The truth beauty is wrapped in a beautiful way...